A Better Tomorrow (2010), sebuah remake rasa Korea

Menurutku, membuat film action yang bagus jauh lebih sulit dibanding membuat film drama yang bagus, sama sulitnya dengan membuat film komedi yang bagus. Sudah menjadi hal awam kalau film drama bisa lebih memfokuskan isi film ke dalam cerita dan skenario. Tapi hal ini sulit dilakukan oleh pembuat film action karena harus membagi konsentrasi antara cerita dan adegan aksi nan seru. Ujung-ujungnya kebanyakan pembuat film action terpaksa mengorbankan salah satu untuk memperkuat bagian lain, dan biasanya yang dikorbankan adalah cerita. Beruntunglah dunia perfilman Hong Kong memiliki seorang John Woo yang mencapai puncak keemasannya ketika masih produktif di Hongkong. Walaupun beliau masih aktif hingga sekarang, tak bisa dipungkiri kalau kehebatannya mengolah film action bermutu justru berada dikisaran era pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Salah satu film action bagus yang menjadi trade mark film-film sejenis adalah A Better Tomorrow (1986). Bagaimana tidak? Bukan hanya mengawali genre baru yang disebut sebagai genre Heroic Bloodshed, film ini juga menyebabkan booming film bertema triad (mafia China) yang masih banyak diproduksi hingga sekarang. Kali ini giliran perindustrian film Korea Selatan mencoba untuk membawa film berstatus cult seperti A Better Tomorrow dibuat ulang dengan cerita yang disesuaikan dengan kondisi dan pasar perfilman Korea. Bagaimanakah hasilnya? Harap dicatat, John Woo termasuk salah satu eksekutif produser film daur ulang yang berjudul asli Mujeokja (Invicible) ini. (more…)

Railways – Sebuah film tentang kesederhanaan

Menurut anda, pekerjaan seperti apakah yang paling baik? Apakah yang menjadi prioritas untuk bekerja? Besarnya penghasilan? Banyaknya waktu luang? Atau seperti kebanyakan anggapan orang bahwa pekerjaan terbaik adalah bekerja dibidang yang kita sukai tanpa memandang besarnya penghasilan dan jabatan yang diraih. Railways menceritakan tentang kehidupan seseorang yang sukses dalam karirnya di kota besar tetapi memilih pindah ke kampung demi mendapatkan pekerjaan yang disukainya. Terus terang saja alur film ini hampir tanpa riak, agak datar dan sederhana dalam bercerita. Tapi justru hal yang demikian mampu menciptakan suasana tenang dan damai, sesuai dengan kondisi kehidupan kampung yang kontras dengan hiruk pikuk kehidupan kota besar layaknya Tokyo.
(more…)

The Man from Nowhere (Ajeossi)

Man-seok: “Memangnya apa hubunganmu dengan anak itu, sampai kau mau susah payah menyelamatkannya?”
Tae-sik: “Tetangganya.”

Terus terang saja, ketika film ini pertama kali diluncurkan dan membuat heboh para cewek penggemar Won Bin, aku malah tak tertarik sama sekali untuk menontonnya. Dalam bayanganku film ini tak jauh beda dengan film drama romantis yang doyan menguras air mata penonton sambil mempertontonkan wajah ganteng/cantik para artisnya. Tapi betapa terkejutnya aku ketika mendapatkan kabar bahwa film yang judul aslinya Ajeossi (panggilan orang Korea pada lelaki setengah baya) ini panen penghargaan di berbagai ajang festival. Jadilah aku ikut berburu untuk menonton karena penasaran, seperti apa sih film yang menarik perhatian penonton hingga bertengger dipuncak tangga box office Korea tahun 2010 sekaligus memperoleh pujian kritikus ini. (more…)

Fish Story – Lagu Punk penyelamat dunia

Lagu Fish Story, suatu hari nanti akan menyelamatkan dunia (Manager Gekirin band, Okazaki)

Aku sadar kalau film buatan tahun 2009 ini mungkin agak sulit disukai banyak orang, malah mungkin sulit untuk dinikmati penonton pada umumnya. Memang film ini kurang laku ketika beredar di bioskop umum, tapi banyak memperoleh pujian dari para penonton sewaktu diputar di ajang festival film. Padahal kalau dipikir-pikir, Fish Story bukanlah film dengan plot cerita berat. Mungkin hal ini disebabkan Fish Story mengusung cerita yang aneh, tidak membumi dan mengawang-awang. Bayangkan saja, plot utama film ini adalah tentang bagaimana sebuah lagu punk bisa menyelamatkan dunia dari kehancuran. Aneh bukan? Namanya juga Fish Story, sebuah ungkapan untuk menggambarkan cerita mengada-ada. Tapi aku pribadi justru menyukai film non-mainstream ini karena keunikan cerita dan cara sang sutradara mengeksekusi cerita yang diadaptasi dari novel karya Kotaro Isaka (orang yang juga menulis novel Golden Slumber). Tim yang membuat film ini adalah tim yang sama dengan orang-orang yang membuat film Golden Slumber (2010) dibawah pimpinan sutradara Yoshihiro Nakamura. (more…)

Golden Slumber – Konspirasi a la film Jepang

Satu-satunya senjataku yang tersisa hanyalah kepercayaan pada orang lain (Masaharu Aoyagi)

Ada dua buah film Jepang yang dirilis tahun ini menggunakan judul lagu band legendaris asal Liverpool The Beatles sebagai judul film. Yang pertama telah rilis bulan Januari kemarin yaitu Golden Slumber dan yang kedua akan dirilis bulan Desember berjudul Norwegian Wood. Kedua film ini sama-sama merupakan adaptasi dari novel, hanya saja novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami jauh lebih terkenal hingga diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia internasional dibandingkan novel Golden Slumber karya pengarang novel genre misteri Kotaro Isaka. Walaupun demikian, Golden Slumber cukup terkenal di Jepang dan pernah memenangkan penghargaan Honya Taisho 2008 untuk kategori novel terbaik.
(more…)

City Under Siege – Mutant menyerbu Hong Kong

Aku sudah pernah menyatakan bahwa selain Dante Lam, Benny Chan mulai menjadi sutradara film action Hong Kong favoritku, setelah menyaksikan beberapa film garapannya seperti Divergence, Invisible Target hingga remake film Hollywood yang berjudul Connected. Ketika Benny Chan dikabarkan sedang menggarap dua film terbaru yang kabarnya heboh, tentu saja aku menanti karya terbaru Chan tersebut yaitu City Under Siege dan New Shaolin Temple (Betul, ini remake film Jet Li jaman dulu itu). Kebetulan sekali City Under Siege dapat kusaksikan lumayan cepat dan terus terang saja membuatku kesengsem setelah melihat trailernya yang terlihat keren itu. Bagaimanakah hasilnya?
(more…)

BECK The Movie – We are the BECK!

Oretachi wa tada no nakayoshi bando jyanai da
(Kita ini bukan band yang dibentuk buat iseng main antar kawan doang!)
~Ryusuke Minami~

Akhirnya! Aku nonton juga film yang sudah kutunggu-tunggu pemutarannya pada bulan-bulan terakhir ini. BECK the movie memang bukan film berat kelas festival dengan plot cerita rumit, melainkan hanya sebuah film hiburan yang diangkat dari salah satu manga favoritku karya Harold Sakuishi. Karena itu, sebelum menontonnya pun aku tidak berharap pada kualitas film berbobot, yang penting bisa menghibur dan mampu mengadopsi semangat manga/anime nya sendiri ke layar lebar. Menurut laporan box office Jepang, film ini mampu meraup lebih dari 300 juta Yen pada pemutaran hari pertama dan kedua di 316 layar seluruh bioskop Jepang sehingga bertengger dipuncak tangga film terlaris Jepang hingga 2 hari. Sayangnya tak sampai seminggu, BECK turun ke peringkat 3 karena harus kalah bersaing dengan film Akunin yang menyalip diposisi nomor satu.

Bagi yang pernah baca manga ataupun nonton animenya, tentunya sudah mengetahui kalau BECK bercerita tentang kisah 5 pemuda yang berjuang dari bawah untuk menggapai mimpi mereka membentuk band terhebat dan diakui penggemar musik Rock seluruh dunia. Fokus film lebih mengarah ke sosok Koyuki sang gitaris pemula dan Ryusuke aka Ray sang gitaris berbakat yang menjadi leader BECK, dengan karakter lainnya sebagai pendukung. Film live action ini mengambil story-arc manga dari awal pertemuan Koyuki dan Ray hingga puncaknya berakhir di konser besar-besaran Greatful Sound. Boleh dibilang versi film layar lebar ini mengambil porsi yang sama dengan versi animenya.
(more…)

Bajakan film Jepang sulit dicari

Sebenarnya bajakan film Jepang biasanya tidaklah terlampau sulit untuk dicari, baik lewat cara mengunduh maupun dengan membeli DVD bajakannya. Yang sulit dicari adalah bajakan film Jepang yang masih baru, yang masih tayang di gedung-gedung bioskop Jepang. Tulisan ini aku buat untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke postingan resensi film Jepang, terutama pertanyaan tentang mengunduh film Jepang yang sedang tayang. (more…)

Merdeka 17805 – Film Jepang tentang perang kemerdekaan Indonesia

Sampai mati!
Tapi….
Jangan mati….
sia-sia.
~Letnan Miyata~

Sebenarnya aku berniat menulis resensi film ini pada tanggal 17 Agustus 2010, sekaligus untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Apa daya DVD nya sendiri baru sampai ditanganku setelah tanggal 23 Agustus dan baru bisa kutulis review-nya hari ini. Film ini dibuat oleh TOHO Jepang dengan syuting di Indonesia atas kerja sama dengan perusahaan film Indonesia Rapi Film dan tayang resmi di Jepang pada tahun 2001. Sepertinya film ini dibuat karena pada saat itu dunia perfilman sedang demam film-film dengan tema perang yang dipengaruhi oleh meledaknya Saving Private Ryan. Sekedar info untuk anda, film Merdeka 17805 gagal tayang di Indonesia karena tidak lolos sensor dengan alasan yang akan saya bahas diakhir tulisan ini. (more…)

Fancy Dance – Komedi Pendeta Zen

Seperti yang telah diceritakan pada tulisan sebelumnya, Fancy Dance adalah film layar lebar pertama karya sutradara Masayuki Suo yang dibuat pada tahun 1989 menyusul film-film dokumenter dan semi-porno yang telah dirintis diawal karir Suo untuk menapakkan kakinya sebagai sutradara berkelas dikemudian hari. Fancy Dance sendiri merupakan film adaptasi dari manga shojo karya Reiko Okano yang mengisahkan suka duka kehidupan para pendeta Zen pada masa training mereka di dalam kuil Buddha.
(more…)