Judul asli: Nijyuu Seiki Shounen Dai Isshou (二十世紀少年 第一章)
Produksi: Toho Cinema ( 2008 )
Sutradara: Yukihiko Tsutsumi
Pemain: Toshiaki Karasawa (Kenji), Takako Tokiwa (Yukji), Etsushi Tokawa (Otcho)
“Musisi rock mati pada umur 27 tahun. Brian Jones, Janis Joplin, Jim Morisson, Jimi Hendrix. Kupikir aku bakalan mati seperti mereka juga. Tak tahunya aku hidup melewati ulang tahunku yang ke 28, benar-benar membuatku kecewa. Rupanya aku ini bukan Rocker.”
(Kenji Endo, 20th Century Boys)
Terlalu banyak berharap mungkin salah satu musuh para penggemar film. Memang ekspektasi berlebihan bisa menjadi bumerang bagi penilaian terhadap film yang ditonton. Kali ini korbannya adalah saya sendiri yang mungkin terlalu banyak berharap ketika menonton versi live action dari manga sensasional karya Naoki Urasawa ini. Tapi bagaimana saya tidak berharap banyak, dengan cerita berdasarkan pada manga yang penuh imajinasi beserta koleksi penghargaan yang mengakui kehebatan manganya, film ini mau tidak mau akan ditunggu dengan ekspektasi besar.
Film action live ini adalah bagian pertama dari 3 chapter yang direncanakan. Berdasarkan manga-nya kisah dibagi menjadi 4 era yaitu masa kecil Kenji dan kawan-kawan, masa dewasa mereka, masa dewasa Kanna (keponakan Kenji), dan masa depan. Bagian pertama ini menampilkan 2 era awal yaitu masa kecil dan dewasa Kenji beserta kawan-kawannya. Teknik flash back digunakan sutradara untuk menceritakan Kenji dan teman-temannya yang masih bocah dengan fokus cerita utama bersetting akhir tahun 1990-an. Judul film dan manganya sendiri diambil dari judul lagu 20th Century Boys yang dibawakan grup Rock era awal 1970-an T. Rex.
Kenji Endo si pemusik Rock gagal yang tadinya bercita-cita mengubah dunia dengan musik Rock harus menerima kenyataan dirinya berakhir sebagai pemilik kombini kecil (semacam mini-market) King-Mart yang hidup bersama ibunya yang sudah tua beserta Kanna, anak kakaknya Kiriko yang raib tanpa kabar. Ketika menghadiri reuni SD, Kenji kembali bertemu teman-teman lamanya selagi bocah. Pada saat yang sama sebuah sekte agama baru yang dipimpin oleh ketuanya yang misterius bernama Tomodachi (artinya: teman) sedang tumbuh pesat. Sekte ini mulai menguasai hampir seluruh sektor penting di Jepang termasuk kepolisian, ekonomi dan politik. Yang membuat Kenji and the Gang kaget adalah lambang yang dijadikan dijadikan Tomodachi sebagai symbol adalah lambang gang mereka ketika masih bocah. Dari sini mulailah cerita kilas balik Kenji and the Gang sewaktu masih kecil.
Kenji and the Gang sewaktu kecil pernah membuat buku ramalan yang berisi imajinasi mereka tentang konspirasi kelompok rahasia yang menghancuran dunia dimasa yang akan datang lengkap dengan detail penyerangan ke kota-kota besar dunia (anak sekecil mereka cuma tahu nama San Francisco dan London dari nama bar doang) sebelum diakhiri dengan datangnya robot penghancur di awal abad 21, tepatnya tahun 2001 masehi. Sebagaimana layaknya imajinasi anak-anak, mereka membayangkan 9 tokoh hero yang menyelamatkan dunia dari kehancuran adalah mereka sendiri.
Kembali kemasa dewasa, Kenji and the Gang kembali terkejut karena bukan hanya symbol saja yang mirip tetapi seluruh detail kejadian serangan juga menjadi kenyataan. Apakah yang akan dilakukan Kenji and the Gang? Apakah mereka akan mengumpulkan kembali teman-teman mereka dan beraksi sebagai 9 jagoan sesuai buku ramalan yang ditulis berdasarkan imajinasi anak-anak mereka? Lalu siapakah Tomodachi yang mengetahui segala detail kejadian buku ramalan? Bagian pertama film ini akan diakhiri oleh adegan klimaks dipenghujung abad 20 dan awal tahun baru 2001.
Bagi yang baru pertama kali nonton tanpa membaca versi manga, mungkin sulit untuk menghapal nama-nama tokoh yang cukup banyak lalu lalang sepanjang film, apalagi bagi penonton yang belum terbiasa dengan nama orang Jepang.
Kabarnya ini adalah film dengan biaya produksi termahal di Jepang. Mungkin yang memakan biaya besar adalah bagian kedua yang mengetengahkan Kanna, keponakan Kenji yang telah dewasa dan melanjutkan kisah dengan petualangan keliling dunia untuk menghadapi konspirasi sekte pimpinan Tomodachi. Untuk film bagian pertama ini sepertinya biaya produksi tidak terlalu mahal-mahal amat.
Kelemahan utama film ini adalah akting dan sutradara. Pemeran Kenji, Otcho (teman Kenji yang berprofesi gangster) dan Yukiji (satu-satunya cewek dalam gang yang jadi polisi) masih mending, tapi yang lainnya kurang meyakinkan. Justru aku suka sama para bocah yang muncul dicerita flash back. Tingkah mereka sangat meyakinkan dan memancing tawa. Sutradaranya sendiri gagal mengadaptasi jiwa manga kedalam film. Ada adegan usaha penculikan si kecil Kanna oleh sekte Tomodachi yang kelihatan sekali cheesy. Seharusnya para anggota sekte adalah orang-orang yang dicuci otak dan bersedia menjadi martir demi kejayaan sekte. Yang muncul malah adegan seperti film-film zombie, pokoknya cheesy banget deh. Lalu sinematografi juga kurang meyakinkan (kecuali adegan para bocah) dengan gambar-gambar hasil bidikan kamera yang terlalu biasa-biasa saja. Spesial efek sendiri kurang mantap, jangan-jangan ini disebabkan pengalihan dana besar-besaran untuk ditumpuk demi pembuatan chapter keduanya? Pokoknya jiwa thriller didalam manga banyak yang menguap entah kemana, walaupun untung saja hawa misteri dalam manga masih bisa tetap terjaga. Kelebihan utama film ini justru ada pada adegan anak-anak kecil yang diambil lewat cerita flash back.
Terus terang saja bagi saya pribadi, bagian pertama yang mengetengahkan tokoh utama Kenji ini yang paling saya sukai dari keseluruhan manga, karena itu harapanku tehadap episode terbaik manga yang diadaptasi menjadi live action film sangat besar. Selain tema utama tentang konspirasi yang mengancam dunia, bagian pertama manga ini juga memuat unsur kritik sosial, persahabatan murni kanak-kanak, imajinasi anak kecil, kondisi Jepang tahun 1969-1970 yang masih labil perekonomiannya, proses kedewasaan dan tentu saja musik Classic Rock yang tak pernah berhenti bergulir seperti kata Kenji mengacu pada lagu Bob Dylan, “Just like a rolling stone.”
Sayang sekali hasil adaptasinya tidak sesuai dengan yang kuharapkan, atau akunya yang berharap terlalu banyak? Semoga bagian kedua bisa lebih baik dari yang ini (paling tidak pada adegan akhir film bagian satu ini memperlihatkan Kanna dewasa yang lumayan cakep 😀 ).
Rating: 3/5
Baru inget kalo manga-nya belum selesai kubaca…
*ngitung duit buat ke rental*
Jadi menurutmu buget film ini pembagiannya gak 50-50 tuk kedua film?
kayanya jauh dari pengharapan ya?
saya juga belom baca komiknya sih 😛
*ngitung duit buat ngoleksi*
yah biasanya emang klo dari buku/manga di film-in tidak bisa memuaskan orang2 yg dah pernah baca.
tp saya tetep pengen bgt nonton ni film ^^ Musti donlod yah ? Bajakannya lom nongol2 ^^
Great Website, btw!
Saya sudah baca manganya, tapi waktu filmnya tayang di bioskop saya sedang pulang kampung ke Jakarta. Balik lagi eh sudah tidak ada, kecewa saya. 😦
baca manga-nya aja penasaran. tetep aja kalo belum nonton movie nya tambah penasaran. thank reviewnya mas, saya pingin nonton nih..
br nntn bbrp hr yg lalu..dpt filmny jg ga sengaja,nemu d warnet..pdhl nyari2 d rentalan ga dapet2..
emang c efekny biasa bgt..tp yg gw suka mang ceritany..tp sayang,sama persis ky d manga-ny..jd cuma fokus d ‘kira2 penggambaranny bkal spt apa’..dan krn efekny biasa jd merusak pnilaian deh..
skr lg nyari yg chapter 2 nih..ktny dah kluar akhr januari kmrn y?
Pingback: Detroit Metal City | my world
Saya setuju kalau bagian pertamanya 20th Century Boys yang paling bagus. Bagian keduanya lumayan tapi bagian ketiganya (yang terakhir) udah kaya kereta melenceng keluar banget dari jalurnya. Maksudku ini manganya ya…
Saya akan lihat ni filmnya. Penasaran banget.
@ Tukang Review
Memang bagian pertama manga yang paling menarik koq, termasuk filmnya juga yang paling mending justru yang bagian pertama juga
Saya tunggu tulisan resensi anda 😀
pas awal mulai main film yg chapter 1,
kan ada lagu instrumental gitar klasik tuh yg jadinya di gantiin ama lagu 20th century boy ama si kenji waktu dia smp
judulnya apa yah??
saya nyari2 susah..
enak banget lagunya ..
kasih tahu yah