Walaupun hukum melindungi kalian, aku tak bisa membiarkan kalian begitu saja
~Ibu guru Moriguchi~
Rasanya sudah cukup lama aku tak memberikan nilai rating lebih dari 4 untuk sebuah film. Memang harus ku akui bahwa akhir-akhir ini aku semakin pelit memberi nilai. Walaupun aku menyukai sebuah film dan kuanggap bagus, kadang kala ada unsur yang kurang memuaskanku untuk menempatkan film tersebut dibawah nilai 4. Kebetulan sekali aku menonton film yang menjadi wakil Jepang untuk beradu di ajang Academy Award tahun ini dan kali ini aku dengan suka rela memberikan nilai lebih dari 4 pertamaku di tahun 2011 untuk film yang berjudul asli Kokuhaku. Film garapan sutradara Tetsuya Nakashima (Kamikaze Girls, Memories of Matsuko) ini merupakan adaptasi novel 6 bab karya Minato Kanae yang skenarionya ditulis oleh Nakashima khusus untuk diperankan Takako Matsu. Kabarnya Nakashima tak mau membuat film ini jika bukan Takako Matsu yang berperan sebagai tokoh ibu guru Yuuko Moriguchi.
Film dibuka dengan suasana ceria murid-murid SMP kelas 1B di hari terakhir sekolah sebelum liburan naik kelas. Mereka minum susu kotak yang dibagikan oleh wali kelas ibu guru Yuuko Moriguchi (Takako Matsu). Selama acara minum susu, para murid tak terlalu mengidahkan kehadiran Moiguchi sensei, malah asyik sendiri dengan aktivitas masing-masing. Barulah setelah acara minum susu selesai, perhatian para murid sedikit mucul ketika Moriguchi sensei membuat pengakuan pertama yaitu beliau berhenti mengajar sejak hari itu. Pengakuan itu disusul dengan pengakuan lain yaitu Manami, anak perempuan Moriguchi sensei yang berusia 4 tahun, tewas dibunuh. Pengakuan terus berlanjut dengan penyataan Moriguchi sensei bahwa pembunuh anaknya adalah 2 orang murid yang ada di dalam kelas, dan Moriguchi sensei mengakui 2 siswa tersebut tak bisa dijerat hukum kriminal karena masih dibawah umur. Karena itu, sang ibu guru memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut dengan tangannya sendiri. Moriguchi sensei mengakhiri hari terakhirnya sebagai guru dengan pengakuan final yaitu memberikan darah yang terinfeksi HIV ke dalam susu yang diminum 2 orang siswa yang membunuh anaknya. Sejak itu, dimulailah kisah kelam nan suram akibat pengakuan Moriguchi sensei di depan murid-murid kelas 1B, terutama 2 orang siswa pembunuh yang dijulukinya dengan nama siswa A dan siswa B.
Walaupun Moriguchi sensei menamakan 2 siswa pembunuh dengan julukan A dan B, deskripsi Moriguchi sangatlah jelas dan tentu saja dengan gampang identitasnya ditebak oleh seisi kelas. Siswa A adalah pelajar pintar dan berprestasi, nilainya selalu bagus dan pernah menjuarai kompetisi ilmiah tingkat nasional. Otak pembunuhan Manami adalah siswa A dan dia melakukannya karena ingin menjadi pusat perhatian. Perhatian yang tidak didapatkannya ketika memperoleh penghargaan nasional karena berita kemenangan dirinya kalah bersaing dengan berita pembunuhan massal oleh anak SMP seusianya. Siswa B adalah eksekutor pembunuhan, seorang “anak mama” yang ingin berbuat sesuatu yang menonjol. Siswa B yang tak punya teman, ingin memiliki teman dan siswa A melihat kesempatan untuk menjadikan siswa B sebagai partnernya. A yang serius ingin membunuh justru hanya berhasil membuat Manami pingsan. Malah B yang hanya ikut-ikutan, justru sukses membunuh Manami yang tengah pingsan.
Yang istimewa, film ini dibuka dengan adegan monolog ibu guru Moriguchi di depan kelas sesekali ditimpali oleh murid-muridnya. Ada dua hal yang membuatku tertegun yaitu monolog itu sendiri dan gambar yang ditangkap kamera untuk mengiringi adegan monolog. Kuhitung-hitung ada sekitar 30 menit waktu yang dihabiskan untuk adegan monolog dan semakin mendekati akhir, bukannya membosankan malah membuat suasana semakin mencekam. Apa yang ditangkap kamera untuk mengiringi monolog merupakan representasi dari isu-isu yang mewarnai masalah remaja di Jepang. Dimulai dari masalah bully, kenakalan remaja dengan pornografi, remaja yg sibuk di dunianya sendiri dengan handphone, remaja Jepang yang sebentar-sebentar buka kotak make-up untuk mengaca dan berdandan, masalah remaja yang depresi dan kecenderungan bunuh diri, siswi perempuan menjebak guru lelaki dengan isu seks hingga dipecat, hingga hikkikomori. Dan puncak permasalahannya, remaja yang ingin menghabisi nyawa orang lain. Hey…. itu baru untuk adegan monolog saja sebagai pembuka.
Selain penanganan masalah umum kenakalan remaja dan pembagian tanggung jawab antara orang tua dan murid, film ini memberikan fokus yang lebih dalam terhadap masalah kriminalitas remaja. Penamaan 2 sosok murid dengan julukan A dan B secara tidak langsung mengingatkan pada kasus pembunuhan Junko Furuta yang juga dilakukan oleh para kriminal berusia remaja. Tindakan ibu guru Moriguchi yang menyampaikan pengakuannya di depan seluruh murid juga bisa menjadi bahan perdebatan kontroversial, karena tidakan Moriguchi bukan hanya memberikan pengaruh langsung pada 2 siswa pembunuh, melainkan juga terhadap murid-murid lain yang mendengarkan pengakuan sang guru. Karena itu, setelah adegan monolog Moriguchi, impact pengakuan sang guru di depan para murid disampaikan lewat sisi pandang 3 orang yaitu siswa A , siswa B dan perwakilan murid di kelas Mizuki Kitahara. Jika trilogi balas dendam ala Park Chan-wook lebih fokus ke sisi psikologi sang pembalas dendam, film ini lebih memberikan penekanan pada efek psikologi terhadap orang yang menjadi target.
Takako Matsu tampil luar biasa sebagai ibu guru pembalas dendam. Ekspresinya selama adegan monolog yang dingin dengan sorot mata membara akibat dendam dan kepedihan mendalam, benar-benar patut diberikan pujian dan standing ovation. Dimulai dari ekspresi hangatnya menceritakan pertemuan dengan ayah sang anak, kehamilan, kelahiran Manami, hingga perlahan menjadi dingin ketika monolog berlanjut ke bagian pembunuhan Manami dan dendam sang ibu guru. Sulit melupakan ekspresi Moriguchi sensei antara gembira, sedih, murka dan lega ketika mengetahui kelemahan kecil siswa A yang seakan tanpa cacat. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan sang ibu guru untuk meluluh lantakkan siswa A di akhir kisah. Yukito Nishii dan Kaoru Fujiwara bermain lepas sebagai dua remaja pembunuh. Penampilan mereka berdua sangat meyakinkan, terutama Nishii yang berperan sebagai siswa A memberikan kesan betapa murahnya nyawa manusia ditangan si A. Scary thought.
Gaya Nakashima dalam menyutradarai film ini juga benar-benar unik dan harus diakui sangat menarik untuk ditonton. Skenario yang ditulis ulang oleh Nakashima berdasarkan novel Minato juga menampilkan pemilihan kata-kata yang mengena, baik untuk adegan monolog maupun adegan dialog. Penggunaan adegan slow-motion di beberapa scene, ikut memperkuat emosi suram dan galau yang telah ditampilkan lewat sinematografi dan teknik pencahayaan (dua hal yang menurutku sempurna) hampir di sepanjang film. Bahkan adegan komedi yang sangat sedikit terdapat dalam film ini, dibawa ke suasana satir dan ironi untuk memperkuat kelamnya suasana. Ah ya, lagu Last Flower milik Radiohead yang dimainkan untuk mengiringi beberapa adegan benar-benar memberi efek yang mengiris perasaan. Sebuah pemilihan lagu yang menarik untuk mempermainkan emosi penonton. Film ini diakhiri dengan ending yang memberikan efek orgasme filmis yang memuaskan ego para pendendam sekaligus duka bagi para pendukung moralitas.
Sepertinya tak habis-habis aku ingin memuji film ini, seperti juga tak habis-habisnya aku memikirkan impact yang ditimbulkan dari film ini hingga membuat pikiran dan perasaanku kacau balau. Karena itu, sebaiknya anda yang membaca ulasan review saya disini langsung saja menonton film karya terakhir Tetsuya Nakashima ini untuk mendapatkan sensasi yang sama.
Trivia:
– Sangat jarang film kelas festival asal Jepang bisa meraih titel box office di negara asalnya. Misalnya saja Departures yang menyabet Academy Award tapi kurang laku ditonton di bioskop Jepang. Novel Kokuhaku karya Minato memang meraih titel best seller, tapi tak ada yang menyangka kalau film Confession juga mampu berada ditangga atas Box Office Jepang selama 4 minggu berturut-turut.
– Mungkin banyak orang menganggap film ini sebagai drama thriller, tapi aku merasakan film ini menteror dan memanipulasi pikiranku, sehingga menganggap film ini bagaikan horor psikologis seperti halnya The Shinning-nya Stanley Kubrick. Boleh dibilang aku merasakan sedikit shock setelah nonton film ini.
– Confessions masuk nominasi semi-final Academy Award 2011 (9 film), tapi gagal masuk ke nominasi final (5 film) untuk kategori Film berbahasa asing terbaik.
Rating: 4.25/5
Wuih… premis ceritanya keren. Balas dendam dengan mencampurkan darah HIV dalam susu? Gak kepikiran oleh saya. Bener2 ‘teknik’ membunuh yang oke. Saat orang terkena HIV, pasti sekitarnya bakal menyarakan sang penderita karena gak bsa ‘jaga diri’. Jepang sungguh penuh dengan ide yg unik.
Kira2 bakal liris di Indo gak ya?
aaah beruntungnya udah nonton film ini. penasaran banget saya sama film ini, secara sutradaranya Tetsuya Nakashima yg bikin Memories of Matsuko yang luar biasa bagus. dan masuk jadi semi finalis Oscar? ih waaaw *mati penasaran* *lumutan nunggu dvdnya keluar*
Review kali ini benar-benar persuasif provokativ berhasil membuat saya penasaran…
pasti g bakalan di rilis di Indo
secara, nanti pasti dibilg seperti ini :
” film ini tidak mendidik, memberikan ajaran yang tidak baik, nanti dapat di contoh “.
padahal penasaran m filmnya …
harus download dhe …
@Kencana
Kalaupun rilis, paling sangat terbatas. Biasanya tak jauh dari jaringan bioskop Blitz.
Kalau jaringan 21 sih, jangan harap lah.
@purisuka
Iya, termasuk salah satu dari 9 film nominasi semifinal. Sayang gagal masuk final, walau bukan berarti tidak bagus. Masalah selera juri Oscar juga sih, toh juri juga biasanya berat mau memilih yang terbaik diantara yang terbaik.
@Zeph
Hehehehe… dari kemarin nanyain film serius, yah ini dia salah satunya.
@a
😆
Oh, LSF nggak senaif itu koq. Kemungkinan besar kalaupun mau diedarkan, saya yakin pasti lolos sensor. Kalaupun gak dirilis, alasannya:
Fiuh~ bacan resensi nya aja sudah bikin berdebar-debar. Film dengan genre ini memang mendebarkan sih ya…
Zannen ne…
Di kotaku, jangankan 21, biosop ecek-ecek sekalipun nai yo!
Masa sih nggak ada cara lain untuk bisa nonton Film ini…
atau mereka bilang begini :
” film ini mungkin tidak bisa di rilis di indonesia, karena kami kekurangan staf untuk membahasa indonesiakan ”
secara, kalu kata orang sini, pusing baca text sama lihat pilmya. harus satu.satu …
tapi, harus bisa cari DVDnya
hho
Penasaran!! Masuk ke daftar belanja :p
@ardhie
saya baru tau kalau nonton film sambil baca text itu pusing, soalnya dari pertama kali nonton film asing jaman jebot di bioskop udah pakai text terjemahan. 😆
@Al dan Snowie
Wah, saya emang udah nunggu dua orang ibu guru ini mampir. Saya pengen tau sisi pandang seorang ibu guru (terutama AL yang wali kelas, kalau Snowie saya gak tau wali kelas atau bukan) ttg isu2 yang ditampilkan dalam film ini. Saya sampai sekarang masih sedikit shock, mengingat profesi guru yang relatif tau dan mengerti ttg murid2nya malah memanipulasi mereka utk kepentingan sang guru.
O iya, saya baca di blog AL ttg murid perempuan yang SMS dan telepon melulu ke seorang pak guru. Di film ini ada sedikit disinggung ttg kasus nyata, seorang murid perempuan yg marah dgn seorang pak guru menjebak gurunya agar beliau dipecat. si murid menelpon pak guru dan bilang sedang depresi, sampai akhirnya bilang mau bunuh diri. Karena panik, si pak guru pengen ngajak ketemu langsung. Si murid bilang dia berada di sebuah Love Hotel (hotel bayaran per jam khusus buat kencan). Ketika si pak guru sampai dan bertemu dgn si murid, mereka berdua difoto oleh teman si murid dan foto tsb diberikan pada orang tua si murid dan kepsek. Jadilah karir mengajar si pak guru habis.
Kalau mau donlot lewat torrent, sekarang udah ada koq yg pakai subs bhs inggris. Kalau mau DVD yg asli, bisa pesan lewat YESASIA, eBay atau CD Japan
udah nemu filmnya nih mas hehe tinggal ditonton, tapi kayaknya harus nemu mood yang pas hahaha
OH MY!! saya baru nonton, and it blew me awaaay!! SICK!!! shot2nya artistik deh, terus musiknya jg keren!
Saya baru sadar bahwa film dgn genre ini tidak membawa pengaruh apa-apa ke saya.
sudah terbiasa nonton film sadis pembunuhan berdarah-darah dengan mood biasa sajaImpact-nya keperasaan gak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan waktu saya nonton Hachiko monogatari. u_u
Ya, untuk murid yang main HP dan kacaan di kelas, juga terjadi di sekolah tempat saya mengajar. Tapi, semua itu ada aturan, jika mereka ketahuan melakukan hal tsb, akan ada konsekwensi nyata untuk itu.
BTW, kesan saya saat menyaksikan cerita, saya sangat menyalahkan orang tua siswa A. Kebanyakan masalah remaja di sekolah, IMO, berasal dari rumah mereka masing-masing. Ijou…
@Fariz
Yup, saya setuju sama pendapat Fariz. shot kamera dan sinematografinya emang keren, terus musiknya pas banget. Kebayang waktu adegan awal minum susu, diputar lagu Milk yang membuat penonton merasa kalau murid2 kelas 1B adalah anak2 innocence. Lalu pas lagu radiohead sambil melihat si ibu guru nangis, ketawa, lalu tiba2 dgn dingin bilang, ” huh.. menggelikan!”, rasanya gimana gitu….
@Akiko
waduh, ganti nama nih 🙂
Saya baru sadar belum bilang kalau film ini sangat sedikit memberikan visual sadis dan berdarah-darah, cuma ada satu adegan dan itupun di shot dgn artistik. Pembunuhan anak sang guru juga cuma di cemplungin ke dalam kolam, sama sekali tak ada darah. Genre ini lebih ke teror mental koq kayak film The Shinning-nya Kubrick, lewat penggambaran watak tokoh dan keputusan yang diambil.
Btw, saya nonton SAW (1 sampai 6) yang hobi menampilkan mutilasi manusia, dan saya merasa biasa2 saja tuh.
Tapi justru setelah nonton film ini, saya merasa sedikit shock.
Sepertinya Snowie.. eh Akiko salah menilai film ini sebagai film slasher 😆
Nah ini dia yang menarik.
Maaf, kata2 berikut mengandung
SPOILER
Siswa A (perencana pembunuhan): dari keluarga broken-home, bapak-ibu cerai.
Siswa B (pelaku pembunuhan): dari keluarga baik-baik, anak mama.
Nah lho! Dua murid beda latar belakang keluarga. Bedanya, siswa A jadi anak tegar dan tak gampang terpengaruh, siswa B justru lembek dan dengan gampang dimanipulasi oleh siswa A dan ibu guru Moriguchi.
Dan satu lagi, si ibu guru Moriguchi juga menyalahkan orang tua siswa seperti juga Akiko (sepertinya ini tipikal reaksi guru yah). Ingat adegan Moriguchi dgn sinis menyinggung betapa sang ibu siswa B terlampau memanjakan dan membea anaknya lewat kata sederhana….. kawaisou (kasihan).
Asal tau saja ada beberapa2 hal yang mengganggu pikiranku, salah satunya pengakuan si ibu guru di depan kelas bertujuan untuk memanipulasi para murid lain supaya ikut serta menghukum dan menghabisi rekan sekelas mereka yaitu siswa A dan siswa B.
dan yang satu lagi, dengan menggunakan pengetahuannya sebagai seorang guru dan seorang ibu, Moriguchi sensei menggunakan kasih sayang anak terhadap ibunya untuk menghancurkan hidup siswa A, dan juga menggunakan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya untuk menghabisi kebahagiaan keluarga siswa B.
IRONIS! Seorang ibu yang kehilangan kasih sayang atas anaknya, menggunakan kasih sayang yang sama (kasish sayang Ibu-anak) untuk mencerabut kebahagiaan 2 siswa pembunuhnya.
Itulah yang membuatku sedikit shock setelah nonton film ini. btw, mungkin aku saja yang kebanyakan mikir yah
Ya.. sekolah di jepang juga sama, dan itu hanya masalah umum anak2 sekolah. bagaimana dgn kasus murid wanita menggoda guru lelaki? atau yang agak umum, kasus bully?
Film ini mengkritik sistem pendidikan Jepang. Misalnya saja dalam kasus bully, orang tua murid menuduh guru tak becus mendidik siswa di sekolah, dilain pihak para guru (seperti reaksi Akiko diatas) menyalahkan orang tua karena para siswa membawa masalah di rumah ke sekolah. Hasilnya? Dua gajah bertarung saling menyalahkan dan sang murid berada ditengah terinjak-injak.
*halah, padahal udah bilang Ijou* 😛
Btw, saat ini saya hanya guru bidang study.
Hmmmm, mengenai guru yang memanipulasi muridnya demi kepentingan pribadi, ya memang salah.
Tapi, kalau dilihat dari posisi Moriguchi sensei, memang sulit untuk tidak berbuat serupa. Bayangkan saja, anak yang sangat berharga dibunuh tanpa alasan oleh dua orang muridnya sendiri hanya agar mereka–para murid tersebut– diakui. Untuk Kasus A, oleh ibunya
yang sangat egois.BTW, sebagai pribadi (bukan sebagai guru) saya berpendapat, tindakan si A yang mengakibatkan kematian ibu yang sangat dicintainya, itu pembalasan setimpal. Dia akan tahu rasa sakit yang diakibatkan kehilangan seseorang yang dicintai dengan ‘paksa’.
Itu juga bisa menjadi pelajaran berjarga buat para orang tua yang terlalu berambisi pada karirnya sehingga mengenyampingkan anaknya, apalagi jika berhubungan dengan sains yang selalu memiliki dua mata pisau. Juga, sikap ibunya yang ‘memaksakan’ cita-citanya pada anaknya.
Dan saya juga tidak ingin membela orang –sekalipun dia anak-anak, yang telah dengan terencana dan tanpa perasaan menghabisi nyawa orang lain. Anak seperti itu, bisa sangat berbahaya jika dibiarkan begitu saja.
BTW, Juvenile law itu tidak masuk akal. Menurut saya, umur berapapaun, jika sudah dapat membedakan baik dan buruk, maka dia pantas mendapat hukuman atas perbuatannya.
@Akiko
wah, udah ada sambungannya. 😛
Impact yang kurasakan justru pada pola pikirku tentang peranan seorang guru dalam menangani murid bermasalah dan juga juvenile law untuk tindak kriminalitas remaja. Impact nonton film menye? paling cuma manyun bentar (kalaupun beneran sedih) lalu lupakan adegan menye-nya untuk menonton film berikutnya. Gak ada pengaruh sama prinsip hidupku koq. 😈
Hohohoho, kalau membaca postinganku dibagian akhir, berarti Akiko termasuk kategori “memuaskan ego para pendendam”
Ya… saya setuju dgn hal ini. Ada anak2 yang mulai menunjukkan perilaku psikopat dengan menyiksa binatang dan hal ini sebaiknya diberikan terapi psikologis sebelum sang anak berniat melanjutkan eksperimennya ke anak-anak lain.
Setau saya Juvenile Law itu ada di semua negara, bukan cuma sekedar isu film. Tiap negara memiliki hukum yang menentukan batas minimum usia seorang anak bisa dikenakan hukum pidana setaraf dengan hukuman usia dewasa (age of criminal responsibility). Di Indonesia sendiri punya penjara khusus untuk anak2 yang terlibat masalah kriminal (walaupun nama resminya bukan penjara).
Yang namanya perangkat hukum, harus jelas menentukan umur minimal untuk klasifikasi “membedakan baik dan buruk”, tidak bisa hanya dengan mengira-ngira. Tiap negara punya klasifikasi umur tersendiri. Kalau hukum pidana Jepang setahu saya, sebelum penetapan hukum, terlebih dahulu diadakan penelitian oleh staff ahli pemerintah. Tidak hanya sekedar ditetapkan begitu saja. Entah lah hukum pidana Indonesia, walau usia minimum kriminal menurut data link bawah adalah 8 tahun.
Disini ada daftar Age of Criminal Responsibility
:: Ando-kun
Masih bisa dipanggil Snowie kok kalau mau. ^^
Saat ngetik komen tadi malam, yang terbayang, dan mungkin itu kesan yang saya tangkap, saat si A mengiris jarinya dan menempelkan darahnya ke pipi temannya.
Juga, si B yang ‘melukis’ minimarket dengan darahnya.
dan, saat di B, membunuh ibunya. Dan si A membunuh teman perempuannya.
Semua adegan itu cukup membuat saya berfikir kalau film itu penuh darah.
Sebentar, sebelum dilanjutkan, sepertinya kita harus menyamakan sudut pandang dulu.
Saya melihatnya dari sudut ibu guru Moriguchi yang bertindak seperti yang diceritakan di film.
Pertama: seandainya A dan B tidak membunuh putrinya, maka Moriguchi sensei tidak akan bersikap demikian.
Sementara, si A melakukan pembunuhan, semata-mata karena ingin di akui. Dan juga karena perasaan ditinggalkan oleh orang tuanya, terutama ibunya.
dan B, lemah karena di remehkan oleh si A yang akhirnya membuatnya membunuh dua orang.( ingat lagi motif yang membuatnya melempar Minami chan ke kolam dan sebelum ia mencabik-cabik ibunya).
Kenapa dengan ini? Menurut Ando-kun sebaiknya Moriguchi sensei bersikap bagaimana?
… tapi, ingat juga, demi mendapat perhatian ibunya, A tanpa perduli, membunuh siapapun/apapun yang diinginkannya. So, IMHO, pada dasarnya si A memang sudah hancur hidupnya karena ditinggalkan ibunya. Moriguchi sensei hanya membuatnya lebih parah, akibat dari perbuatan A sendiri.
Entahlah kalau yang ini. Saya belum memahaminya.
Ini seperti satu dunia di kuasai dua tuhan. *ngelantur*
FYI, guru, terutama guru BK dan Walikelas, dipandang sebagai Orang tua kedua bagi murid.
Hanya saja, tuduhan guru yang tidak becus, sungguh tidak dapat di terima. Coba saja perhatikan, selain bertanggung jawab atas ilmu yang diajarkan pada murid (menyiapkan materi, mengurus administrasi yang berhubungan dengan pelajaran dankelasnya), guru juga dianggap bertanggung jawab atas moral murid tersebut.
Sementara seorang guru bersama murid hanya dari sekitar (sebut saja) jam 8 am-3 pm di sekolah. Belum lagi kenyataan, seorang walikelas, bertangung jawab atas sekitar 32-40 an anak. Dan anak-anak tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda. Jika dilihat dari murid SMP, guru tersebut baru mengenal mereka saat mereka sudah berumur 12 tahun keatas. Siapa yang tahu apa yang terjadi pada anak-anak tersebut 12 tahun sebelumnya. Apa dipikirnya guru itu manusia super yang bisa menangani banyak hal sekaligus?
Dan, jika ada masalah dengan seorang anak, apakah masuk akal, jika hanya guru yang disalahkan?
Dan untuk alasan yang sama kenapa guru menyalahkan orang tua.
@Akiko
Kalau nonton film slasher beneran, misalnya yg buatan lokal “Rumah Dara”, Confessions jadi mirip film kanak-kanak yang main cat merah
Saya bukan guru, tapi saya berpendapat betapa sangat tidak etis seorang guru “memanipulasi” murid2 lain yang tak ada hubungan dgn pembunuhan putrinya untuk ikut terlibat menyakiti siswa A dan B. Apakah Akiko berpendapat siswa mem-buly murid jahat itu termasuk murid yang baik? Apakah manipulasi Moriguchi sensei terhadap murid2 lain tidak memberikan efek buruk bagi mereka? Belum lagi Moriguchi sensei memanfaatkan rekan guru untuk menghancurkan murid dalam kelasnya sendiri.
Itulah yang mengganggu pikiran saya: Seorang guru wali kelas dengan mudah bisa memanipulasi siswa bimbingannya, karena wali kelas relatif tau dan mengerti murid2 bimbingannya.
Saya sendiri tidak memiliki pandangan tertentu bagaimana seharusnya “si tokoh bersikap”, apapun boleh asalkan tidak melampaui batas (kalau bicara “batas”, memang relatif sih), dan batasan itulah yang patut diperdebatkan.
Dan saya melihat dari 4 sudut pandang berdasarkan pengakuan 4 tokoh dalam film yaitu: Moriguchi sensei, Kitahara Mizuki, Siswa A dan siswa B.
Dan pendapat saya berdasarkan orang luar yang menonton dan melihat jalan pikiran 4 tokoh di atas panggung pertunjukan.
Karena itu, saya ingin tau pendapat Snowie/Akiko dan AL karena saya bisa menduga kalau anda sekalian (yang berprofesi guru) akan memandang hanya dari sudut pandang seorang guru, yaitu Moriguchi sensei
Menurut saya, dengan melakukannya justru Moriguchi sensei juga menghancurkan dirinya sendiri baik sebagai seorang guru, seorang ibu, maupun seorang manusia. Apa yang dilakukan Moriguchi sensei secara tidak langsung juga menyebabkan Siswa A membunuh ceweknya. Aku curiga kalau Moriguchi mengetahui siswa A membunuh Mizuki, berarti Moriguchi tak memiliki niat untuk mencegah terjadinya pembunuhan.
Saya sendiri tidak mengerti, apakah dengan menghancurkan A yang memang sudah hancur dan menyebabkan kehancuran dirinya sendiri, Moriguchi sensei mendapatkan kepuasan sejati? Toh ketika Moriguchi menangis sambil tertawa sewaktu menyadari kalau kasih sayang ibu-anak merupakan titik lemah siswa A, dia dengan dingin mengakhiri tangisanya dgn kata, “kudaranai= menggelikan”. Sebuah pertanda sisi keibuan Moriguchi sudah terkikis dendam.
Ketika Moriguchi mendapatkan pengakuan siswa B membunuh Manami di rumahnya sendiri, Moriguchi juga menyadari kalau ibu siswa B sangat memanjakan anaknya dan menganggap anaknya tak bersalah. Dengan memanipulasi Terada sensei utk menyantroni rumah siswa B, Moriguchi berniat untuk menggunakan kasih ibu siswa B untuk membunuh anaknya sendiri karena kasihan. Malah yang terjadi justru sebaliknya..
Oh… jangan tanyakan saya karena saya belum punya anak 😈
Yang pasti, saya yakin kalau guru maupun orang tua tak ada yang mau disalahkan.
Jadi kesimpulannya: salahkan saja si anak 😈
First, nggak musti harus jadi guru kan untuk bisa berpendapat.
Second, ya saya setuju dengan pernyataan Ando-kun. Bahkan di komentar kedua saya di hari yang sama pada post ini sudah mengatakan bahwa saya juga berpendapat sama. Apapun alasannya tindakan Moriguchi sensei itu memang tidak bisa dibenarkan titik
Kenyataan ini terdengar begitu mengerikan ya? Bahwa ternyata guru-pun bisa begitu mengerikan dan mengancam jika salah jalan?
Sepertinya begitu. Tapi apalagi yang bisa diharapkan dari seseorang yang sepertinya sudah penuh dendam, kehilangan semangat hidup dan putus asa??? Walaupun dia tadinya guru, dia khan juga manusia.
Pun saat dia melakukan itu, Moriguchi sensei khan sudah memutuskan untuk mengakhiri fungsi dan jabatannya sebagai guru dan walikelas. Dan untuk selanjutnya ia menggunakan ‘kelebihannya’ untuk mencapai tujuan. ne?
Jawaban ini, Ando-kun sendiri sudah menjawabnya dalam sambungat quote ini.
Tidak, selanjutnya saya pikir Moriguchi memang sudah dipenuhi dendam dan putus asa. So, bukan untuk kepuasan, tapi untuk dendam.
pernyataan yang jahat dan menusuk hati! ><
Saya sering mendengar bahwa seorang ibu, walaupun tahu anaknya salah, tapi ia tidak suka mendengar jika anaknya disalahkan oleh orang lain.
soshite, haha ni naraba, watashi mo sou omoukana….
.
After all, saya juga berharap bisa melihat komentar Saudari Al tentang film ini. Darou, Ando-kun? ^^
P.S
Sepertinya, ini yang luput dari perhatian saya. Gomen ne… ^^
Sekarang saya pikir saya mengerti apa yang ingin Ando-kun katakan.
Sementara, saya melihat Moriguchi sensei dalam film ini bukan sebagai guru, tapi sebagai ibu yang anaknya dibunuh. Rasanya ini penyebab komentar saya sebelumnya tidak begitu mengena. ^^
@Akiko
Ah, saya lupa menambahkan pendapat saya soal “adegan berdarah” yang Akiko bilang serasa film slasher. Bagi saya cuma adegan siswa B melukis supermarket dgn darah yang terasa slasher. Untuk adegan pembunuhan Mizuki dan tewasnya ibu siswa B, saya justru merasakan adegan tersebut bernuansa sedih dan memilukan (Mizuki dibunuh satu2nya orang yg diakui sbg teman yg dipercaya; seorang anak membunuh ibunya). Terutama kematian Mizuki, mungkin karena diiringi alunan lagu Last Flower-nya Radiohead kali 😦
Konteks saya disitu, pendapat sebagai “bukan guru” untuk pespektif perbuatan tokoh guru (Moriguchi sensei). Tentu saja siapapun bisa ngasih pendapat koq.
Ya, itu yang saya maksud impact terhadap pola pikir dan pendapat saya.
Ya, manusia yang salah jalan dan dibutakan oleh dendam.
Aku baca novelnya. Dia mengundurkan diri lebih untuk tujuan sebagai puppet master. Soalnya Moriguchi yakin, kalau sosoknya hadir di depan siswa A dan B, terror yg dirasakan mereka malah berkurang.
Saya sudah menyatakan impact yg saya rasakan setelah nonton Confessions. Saya jadi penasaran, impact setelah nonton Hachiko monogatari buat Akiko apa yah? Koq sepertinya impact yg sangat besar dan merubah kehidupan Akiko. Apakah sekarang Akiko sudah menyingkirkan kucing peliharaannya demi memelihara anjing? Apakah sekarang Akiko lebih sayang pada anjing daripada makhluk lain? Atau malah rumah Akiko sekarang udah jadi tempat penampungan anjing2 terlantar?
*lirik avatar meong yang udah diberangus*
Untuk Mizuki, saya masih bertanya-tanya, kenapa ia membunuh keluarganya.
Aduh, ternyata masih aneh rasanya dirujuk sebagai Akiko. 😆
Nggak besar juga sih. Tapi, sepertinya setelah menyaksikan Hachiko monogatari, saya agak lebih sentimentil aja lihat film sedih. Terutama kalau yang mati itu seseorang yang berharga buat tokoh utama. Dengan catatan filmnya bukan film yang tujuan utamanya untuk membunuh para pemerannya seperti film yang satu genre dengan The Ring, SAW or Final Destination.
いいえ、そんな事じゃないよ! Cat is still and always my most favorite pet in the world. ^^
Sekarang saya jadi lebih perhatian gitu sama Snowie. Memastikan dia mendapat makanan saat di rumah dan keluar dengan perut penuh. Selagi bisa, saya ingin membuat Snowie mendapat cukup makanan dan punya rumah untuk pulang dan berlindung.
しかし、今までも、はちこの事思う時、まだ悲しいです。u_u
あの。。。それはものであるんだから。。。
Akhirnya nonton film ini juga.
Confessions, sebuah film thriller psikologi dengan sinematografi dan teknik pengambilan yang artistik. a good one.
IMHO, mungkin memang ada benarnya bahwa pengakuan moriguchi sensei di depan kelas terlihat kurang etis, jika dilihat dari perspektif bahwa dia seorang guru. namun dari sanalah film ini dikembangkan, mencipta konflik-konflik yang mengarah ke destruktif, namun dengan mengambil pengakuan dari beberapa tokoh yang terlibat dengan berbagai motiv dan kondisi psikologisnya, saya kira ini salah satu upaya untuk meminimalkan penafsiran atau hal-hal yang langsung menghakimi para tokoh.
terlepas dari konsep siapa yang benar atau siapa yang salah, apa yang dialami dan atau dilakukan para tokohnya, telah mewakili sisi kelam manusia. bahwa ketika dendam atau ketidakadaan kasih sayang pada manusia benar-benar bisa merubah manusia menjadi sosok yang gelap (jahat 😕 )
@Akiko
Film yg memberikan impact buatku biasanya kalau bisa memberikan pengaruh buat pandangan hidupku. Kalau hanya film menye yang cuma jual cerita sedih sih udah nggak ngaruh, paling cuma kena di akhir nonton, setelah itu fokus ke hal lain. Hachi monogatari juga biasa aja, cm sedih pas filmnya abis. Gitu ganti nonton Chuck, udah ketawa ngakak lagi 😀
@Zeph
Sepertinya bakalan bikin postingan pandangan tersendiri nih 😉
Pertama kali dalam pikiran saya apakah orang-orang ini gak punya kesadaran hukum? Bukan hanya tindakan main hakim sendiri, tapi juga pengetahuan atas hak-hak mereka. Sewaktu membaca tulisan diatas, saya kira terbunuhnya anak sang guru karena tindakan brutal yang impulsif. Cukup kaget bahwa ini adalah pembunuhan terencana yang dilakukan dengan sangat tidak rapih. Kalau memang maksudnya agar ketauan, buat apa? Gak ada hubungannya dengan motif si A yang pengen dikenal. Dia terlalu cerdas untuk gak menyadari bahwa main-main dengan gurunya bisa membuat masa depannya berantakan (oh iya dia jenius, yah). Saya kira sampai di titik ini, si A masih merasa ingin meraih sesuatu dan belum sampai tiba di titik setres yang menjadi klimaks film.
Tindakan guru mah gak usah ditanya lagi sungguh gak waras. Nampaknya ini udah sampai dimana dia gak bisa menahan kekecewaannya lagi. Anak dibunuh murid sendiri. Sama aja ngerasa kalo anak kita dibunuh anak kita sendiri. Sebagai ibu, saya akan merasa sangat gagal. Saya gagal melindung anak saya. Saya gagal menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak-anak didik saya. Ditambah lagi, semua yang saya miliki sudah dirampas. Dan gak ada yang berpihak kepada saya. Hukum tidak berpihak kepadanya bahkan pengakuan pun tidak. Sebagai guru ataupun sebagai manusia, tindakannya tidak etis. Hanya wujud frustasi.
Itu pendapat saya sampai pada saat saya tahu kalau rangkaian kisah selanjunya masih didalangi sang ibu guru.
Menurut saya kemudian, sang guru sakit jiwa. Mengherankan kenapa dia gak ditangkap polisi. Memangnya gak ada muridnya yang melaporkan tindakan tersebut paling tidak kepada orangtuanya atau guru lain? Ada apa dengan anak-anak ini hubungan komunikasi di keluarganya bermasalah semua? Apa ibunya B gak ngasih tau suaminya mengenai hal ini? (instingnya ibu melindungi, instingnya bapak membela) Saya juga heran dengan rekan-rekan sekelas A dan B yang kemudian melakukan bullying kepada mereka. Padahal di usia mereka justru kecenderungannya membela rekannya sendiri.
Setuju film ini keren. Membuat kita berpikir dan membuka pintu interpretasi.
@AL
Wah, bu AL akhirnya datang. Komentarnya menyinggung beberapa bagian yang justru saya tidak perhatikan (atau malah memang tidak disadari oleh orang awam diluar dunia sekolah) ketika nonton. Oke, kita simak satu persatu:
Betul bu! Film yang mampu memberikan impact bagi saya adalah film yang mampu membuat saya merekonstruksi pendapat dan pikiran saya, dan film ini termasuk diantaranya.
Ada beberapa orang yang menganggap film ini hanya berupa film hiburan ataupun film gory seperti yang dikemukakan Akiko diatas ataupun imajidemon. Tak bisa disalahkan sih karena memang film ini bisa dipandang menjadi film ringan maupun film yang bisa membuat penontonnya mikir, tergantung orang yang nonton. Contoh film lain misalnya Up in the Air-nya George Clooney, banyak yang bilang film ringan menghibur, tapi bagiku justru berat karena bikin aku berpikir ulang tentang konsep relationship.
😆
kalimat yang tepat! Siswa A membuat rencana pembunuhan yang bagus dan rapi, tapi siswa B mengacaunya hingga berantakan. Kayaknya siswa A salah pilih partner yah 😆
kalau melihat tindak tanduk siswa A, sepertinya dia tidak perduli dengan masa depan dirinya sendiri. Apapun yang dilakukannya hanya untuk menarik perhatian ibu kandungnya, toh diakhir cerita siswa A berencana membunuh dirinya beserta siswa lainnya dengan satu ledakan bom hanya untuk memberikan impresi bahwa dirinya masih ada dan eksis (tentunya ini pesan untuk ibu kandungnya).
Terus terang saja, hal ini tak terpikirkan oleh saya pribadi sewaktu selesai nonton. Mungkin karena saya memandang dari sisi pandang umum, ibu AL bisa mendapatkan persepsi seperti ini karena memandangnya dari sisi seorang guru.
Mungkin hal ini sulit dilakukan bu, karena polisi butuh bukti. Toh si ibu guru Moriguchi hanya mempermainkan persepsi para murid tentang AIDS sebagai penyakit menular, karena darah mengandung HIV tidak benar-benar dimasukkannya kedalam susu. Selain itu juga, kesaksian siswa dibawah umur (dewasa) masih sulit diterima di pengadilan (berbeda dengan kesaksian Mizuki di depan kepala sekolah, karena sekolah bukan pengadilan)
Pendapat yang bagus, hanya saja untuk usia anak SMP mungkin saja mereka menggap dirinya sudah cukup dewasa untuk tidak mengadu dan sepertinya mereka sudah membuat kesepakatan bersama untuk tidak memberi tahukan kejadian pengakuan Moriguchi pada orang2 diluar lingkungan kelas mereka. Terbukti mereka malah membuat semacam prank game untuk mem-bully siswa A dengan membuat sistem penilaian untuk setiap bully yg dilakukan.
Ugh… yang ini agak mengganggu perasaan saya, soalnya bully berjama’ah oleh satu kelas benar2 keterlaluan. Tapi saya pikir hal ini mungkin saja terjadi di dunia nyata.
Dalam novelnya, ibu siswa B adalah single parent tanpa penjelasan apakah cerai atau seperti Moriguchi (punya anak tanpa nikah)
Wah, pendapat insting orang tua ini menarik bu. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana cara single parent melaksanakan peran melindungi/membela tanpa partner mereka.
Ini juga saya baru tahu.
Apakah tak ada masalah bully di Indonesia? Maksud saya, ada kecenderungan bully dilakukan oleh rekan satu kelas. Kalau bully dilakukan oleh siswa kelas lain, mungkin rekan satu kelas akan membela sesama member kelas mereka. Di Jepang sendiri, kasus bully sangat serius karena kadang kala mengancam nyawa siswa yang di bully.
Wah, saya juga banyak surprise dengan komentar Bu Al… Kalau dilihat dari komentarnya, benar-benar terlihat seperti guru yang bijaksana… *kagum*
Wah, jadi malu hati kalau melihat komentar saya yang sangat sedikit sekali (kalau tidak bisa dibilang, tidak ada) rasa ‘keibuannya’. 😛
*memperhatikan balasan Ando-kun untuk bu Al*
Hmmm, kalau diingat-ingat ada rasanya… dan sepertinya memang jika tidak ikut mem-bully, teman sekelasnya diam saja sampai kasusnya sampai ke telinga walikelas atau guru BK.
BTW, dari yang saya perhatikan (anak SMA dalam kasus saya),walas memegang pengaruh tertentu terhadap para siswanya.
Pingback: Alternate Ending II: Pengakuan dan Penyesalan | Teacher's Notebook
Pingback: Akunin (Villain) « Toumei Ningen
ni brusan nonton dan saya sgt suka sekali dgn filmnya. pembalasan dendam si bu guru mnurut saya pas dan mantap. klo gw jadi dia abis gw kabarin si A tu bom pindah ke kantor emaknya gw cuik dia trus gw mutilasi pelan2! hahaaaa
Film ini mantap. Beneran! Sampe nyerngit terus nontonnya.
Pas ending malah lebih shock lagi. Gila, bisa kepikiran gitu buat balas dendamnya. Ciamik!
Tapi kalo teman-temanku nonton ini, pasti baru setengah jalan udah nyerah.
“film apaan ini?”, pasti gitu kata mereka…. (_ _”)
Maaf kalau boleh tau, Novel ini sudah ada versi bahasa indonesianya belum?
Karna saya ingin memakai novel ini untuk skripsi, saya baru nemuin novel bahasa jepangnya tapi indonesianya belum. saya butuh indoneisanya juga.
kalau ada yang tau tolong kasih tau infonya ya!!!!
Thank’s
Arigatougozaimasu.
@elisabeth alien
Sepengetahuan saya sih belum ada versi terjemahan novel ini, baik utk terjemahan versi bahasa Inggris maupun Indonesia.
Pingback: Kokuhaku (Confessions) – Gray Zone of Revenge and Morality « Journal of Sienvisgirl
baru beberapa minggu kemarin nonton film ini di channel RED. padahal nontonnya udah di tengah2 waktu Moriguchi lg cerita ttg anaknya dibunuh ama muridnya ndiri, tapi berhasil bikin aku duduk terpaku buat ngelanjutin nonton karena penasaran dengan teknik pengambilan gambarnya yang suram bgt. tapi sayang cuma sampe siswa A ngebunuh ceweknya. Belum sempet sampe endingnya.
Selama nonton film ini, aku nonton sambil mikir. Sasuga, inilah kenapa menurut saya film/drama Jepang unggul karena bikin kita mikir jalan ceritanya dan banyak sekali nilai moral yang disampaikan. Gak seperti kebanyakan film Indonesia yang kebanyakan (maaf) ‘kacangan’ dan malah menjuruskan atau mendidik dengan jalan yang salah.
Seharusnya film Jepang lebih banyak diputar di Indonesia. Gak cuma Yatterman dan MW waktu INAFFF 2009.
aku baru aja nonton mas Ando, bela-belain begadang dan ngancam teman buat download ini film. Gilaaa, endingnya bikin merinding. mumet kepalaku. air putih…tolong air putih…!!! 😛
ngomong2 mslh bully, saya tdk terlalu paham alasan sikap bully berjamaah yg dilakukan teman2 kelas A dan B. mungkin krn masa2 SMP-ku hal yg sprt itu sgat jarang terjadi. juga knp si B yg tega2nya membunuh Manami padahal dia tahu anak itu masih hidup terlebih usianya baru 4 tahun. jg si A, si jenius gila yang bisa membunuh siapa saja demi menarik perhatian ibunya. bagiku itu keterlaluan. beberapa org di sekitarku adalah org2 yg tidak dipedulikan orangtuanya tapi mereka tak sampai melakukan hal seperti itu. beruntungnya, mereka tdk dianugerahi kejeniusan dan jg oedipus complex. terus jg sikap murid2 di awal film, kalau disini, begitu guru masuk kelas murid2 lgsng tenang gak berani berisik apalagi sampai nyela2 perkataan guru. apa di jepang mmg begitu kondisinya? saya jg gak nyangka klo si A akan membunuh wakil kelas. kupikir setelah dia ketemu sm org mengerti dirinya, dia akan berubah tp klo sprti itu pasti sangat klise. ngomong2 angka 2 yg ada di pergelangan tangan wakil kelas itu maknanya apa sih ?
haduh nonton film ini bikin saya shock. air putih…mana air putihnyaaaaa….!!!
@Elkha
Terlebih dahulu, harap ingat, ini cerita fiksi bukan kisah nyata 😀
Di sekolah Jepang, umumnya sih ketika guru masuk seluruh murid berdiri mengucapkan salam lalu membungkuk untuk menghormati sang guru, kemudian duduk. Semuanya dipimpin oleh ketua kelas, mulai dari bilang ritsu (berdiri), lalu bilang rei (hormat) dan diakhiri chaku (duduk).
Waduh… aku gak inget. Ini film udah lama nontonnya.
Saya sudah menonton film.ini dan sukses mengacak2 pikiran saya. Orang yang pertama kali menonton film ini tidak akan bisa menebak jalan ceritanya. Sepanjang film dipenuhi ketegangan. Film yg bagus dan harus dicari untuk dintonton. 🙂
Film ini kereeeen! Apalagi siswa A(shuuya watanabe) yang diperankan oleh Yukito Nishii, anak lelaki mungil berwajah imut nan kalem, serta pintar. Itu merupakan hal yang membuat penonton shock kalau si siswa A bisa melakukan hal2 keji seperti yang sudah-sudah dia lakukan. Dan hal tersebut merupakan keunggulan dari casting director dalam pemilihan pemain untuk memberikan efek shock therapy tersendiri bagi para penonton(khususnya penonton remaja berusia 15-18 taun yang terpesona dengan keluguan sosok shuuya watanabe. Karena emang film ini ga diperuntukan bagi anak2 dibawah 15 taun~bagi saya~) dan harus mendapatkan acungan jempol.
Selain itu, ada satu hal lagi yang saya tangkap jauh halnya dari moral seorang guru, murid, atau pun orang tua. Yaitu ada pesan terselubung yang ingin disampaikan oleh film ini, yakni ‘Hukum Karma akan selalu bergerak dengan caranya sendiri’
Di saat kamu menyakiti orang, kamu juga akan disakiti orang lain. Secara umum saja saya memandang bahwa film ini mengajarkan untuk ‘Jangan Menyakiti Orang Lain Kalau Kalian Tidak Ingin Disakiti’ begitulah kiranya, terbukti dari Shuuya yang merasakan frustasi yang mendalam akibat ulahnya sendiri dia membunuh ibu yang sangat dikagumi serta dicintainya.
Selain itu, sistem pembullyan yang diangkat di film ini sangat masuk akal. Kelas saya, pernah melakukannya! Ada seorang anak di kelas saya, culun, cemen, anak mami, dan tak bisa bergaul namun pintar. Merupakan sasaran bully oleh teman-teman saya yang lain. Saya yang berada di kelas itu hanya dapat menyaksikan dengan tatapan miris serta kasihan, sementara teman-teman saya terus melakukan bullying massal terhadap teman saya yang satu itu. Baik cowo/cewe, sama-sama melakukan bully kepadanya. Walau tidak semua anak melakukannya, tapi 50% dari murid kelas, membully teman saya tersebut. Dan ini fakta. Jadi sepertinya bully massal yang dilakukan oleh siswa sekelas kepada teman satu kelasnya sendiri bukanlah hal mengada-ngada. Memang kecenderungan untuk melindungi temannya bagi remaja, namun bagi saya, mereka hanya akan melindungi teman jika mereka rasa teman-teman tersebut memiliki jalan pikiran yang sama, seperti contohnya: sama-sama suka belajar, sama-sama anak gaul, sama-sama anak basket, dsb. Atau bisa dibilang teman segenk. Selain dengan teman segenk, saya rasa kebanyakan remaja tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan teman lainnya. Bukannya mengada-ada, tapi kondisi seperti itu memang ada. Jadi wajar saja kalau memang seorang siswa A dibully oleh teman satu kelasnya sendiri.
Haduh, jadi ngomong kepanjangan. Sekian aja deh. Eh sebelumnya, saya juga memuji pemilihan soundtrack untuk film ini. Menurut saya cerdas. Karena benar-benar menambah impact bagi para penonton. Bukan hanya last flowers yang ‘agak’ padat lirik, lagu boris seperti ‘ketsubetsu’ yang merupakan backsound ketika shuuya membayangkan dirinya telah meledakkan ibunya sendiri, itu merupakan hal yang tak terbayangkan lainnya. Untuk film bergenre seperti ini, pemilihan lagu2 ‘metal/rock’ kurang terpikirkan. Dan kebanyakan pengisi soundtrack ini adalah Boris, band metal jepang. Dengan musik yang mencekam namun tak menghilangkan sisi metalnya, membuat penonton ikut merasakan rasa cekam yang ingin disampaikan film ini. Serta penggambaran adegan yang begitu artistik ikut menambah kesan mendalam akan perasaan yang dialami masing-masing tokoh. Dan bisa dibilang Kokuhaku merupakan salah satu film dengan soundtrack2 yang tepat dan cerdas.
Sekian. Terima kasih. Intinya saya sangat suka ulasan ini dan film Kokuhaku tentunya.
Pingback: [J-Movie] Kokuhaku (Confessions) : Gray Zone of Revenge and Morality | Little Paradox
WOW ! film nya ini emang bener2 bagus !!!!!! udah nonton berkali-kali masih belum bosen. heheheh. btw, ada yang punya info lagu2 yang diputer apa aja (selain akb48 sama radiohead) soalnya suka juga sama lagunyaa ❤
Saya tau saya telat bacanya 😀 Kebetulan bgt saya lagi nyari review ttg film ini, pdahal saya kira mana ashida ikutan main ternyata dia cuma jadi anaknya guru moriguchi yg meninggal ya.. Saya belum lihat filmnya kayak gimana, tapi kedengarannya seru ya, kak?
Pgen liat tapi gk brani…
Saya juga anak smp kelas tiga, saya juga mempunyai cerita hampir persis dengan film ini disekolah saya. Kayak… Korban pembully-an, anak2 cwe yg hobinya makeup/ ngaca dikelas, dll. Kayaknya film ini sedikit menyindir ttg dunia pendidikan yg tak patut dicontoh ya. Sekian komentar dri saya, maaf klo kepanjangan 😀