BECK The Movie – We are the BECK!

Oretachi wa tada no nakayoshi bando jyanai da
(Kita ini bukan band yang dibentuk buat iseng main antar kawan doang!)
~Ryusuke Minami~

Akhirnya! Aku nonton juga film yang sudah kutunggu-tunggu pemutarannya pada bulan-bulan terakhir ini. BECK the movie memang bukan film berat kelas festival dengan plot cerita rumit, melainkan hanya sebuah film hiburan yang diangkat dari salah satu manga favoritku karya Harold Sakuishi. Karena itu, sebelum menontonnya pun aku tidak berharap pada kualitas film berbobot, yang penting bisa menghibur dan mampu mengadopsi semangat manga/anime nya sendiri ke layar lebar. Menurut laporan box office Jepang, film ini mampu meraup lebih dari 300 juta Yen pada pemutaran hari pertama dan kedua di 316 layar seluruh bioskop Jepang sehingga bertengger dipuncak tangga film terlaris Jepang hingga 2 hari. Sayangnya tak sampai seminggu, BECK turun ke peringkat 3 karena harus kalah bersaing dengan film Akunin yang menyalip diposisi nomor satu.

Bagi yang pernah baca manga ataupun nonton animenya, tentunya sudah mengetahui kalau BECK bercerita tentang kisah 5 pemuda yang berjuang dari bawah untuk menggapai mimpi mereka membentuk band terhebat dan diakui penggemar musik Rock seluruh dunia. Fokus film lebih mengarah ke sosok Koyuki sang gitaris pemula dan Ryusuke aka Ray sang gitaris berbakat yang menjadi leader BECK, dengan karakter lainnya sebagai pendukung. Film live action ini mengambil story-arc manga dari awal pertemuan Koyuki dan Ray hingga puncaknya berakhir di konser besar-besaran Greatful Sound. Boleh dibilang versi film layar lebar ini mengambil porsi yang sama dengan versi animenya.
(more…)

The Most Conan Movie

Bulan April tahun ini, Detective Conan the movie terbaru yang berjudul The Lost Ship in the Sky mulai tayang di bioskop-bioskop Jepang. Dengan ini, sudah 14 film layar lebar Detective Conan telah dibuat oleh Toho Cinema. Untuk menyambut penayangan seri ke 14 Detective Conan, aku memutuskan untuk memilih 4 buah film layar lebar Detective Conan yang paling menarik perhatianku dari seluruh 13 film yang pernah kutonton.
(more…)

Resensi pendek dan singkat [4]

20th Century Boys 3 (2009)

Lagi-lagi bagian ketiga dari trilogi 20th Century Boys mengecewakanku. Ketidak puasan muncul mulai dari akting kaku, dialog cheesy, special effect tanggung, pokoknya setelah menonton sampai habis yang ada hanya rasa sebal. Pertanyaan yang tersisa setelah nonton film ini hanya satu, kemana perginya budget produksi sebesar 6 milyar yen? Tadinya kukira akan habis untuk memeriahkan efek “dunia kiamat”, tak tahunya kemunculan robot dan piring UFO tak jauh beda dibandingkan efek film Kamen Rider di televisi. Hadirnya kembali tokoh Kenji tak menolong bagian terakhir dari trilogi ini menjadi lebih baik. Belum lagi cara pembawaan cerita yang kurang mulus dari sutradaranya menyebabkan orang yang tidak pernah membaca manganya akan bingung dengan siapa sebenarnya sosok tomodachi asli. Ditambah dengan panjangnya durasi film yang mencapai 2.5 jam membuatku nonton sambil melirik jam melulu. Akhir kata, aku cukup khawatir dengan kualitas film Beck, proyek film sang sutradara Yukihiko Tsutsumi yang berikutnya. Semoga saja Beck The Movie tidak mengecewakan para penggemar Beck versi manga dan anime.

Rating: 2.25/5
(more…)

Resensi pendek dan singkat [3]

1. Motherhood – 2009

“Because mom is do everything and dad only did something. It’s different.”
Itulah kalimat yang diucapkan seorang anak yang minta ibunya lebih banyak dirumah dari pada ayahnya. Ibu mana yang tega menolak permintaan anaknya. Film ini ingin menyampaikan apakah arti menjadi seorang ibu, dan apa yang disampaikan menurutku sangat pas. Film ini cocok buat tontonan keluarga terutama pasangan muda dengan anak kecil, walaupun tentu saja menarik bagi orang yang menyukai film bertema keluarga. Cerita yang mengalir, terasa real dan membumi membuat film ini bisa masuk ke hati para penonton. Memang film ini produksi independen, sehingga bujet produksi tidak memungkinkan adegan spektakular. Tapi teknik pengambilan gambar yang baik membuat adegan yang kebanyakan diambil ditempat itu-itu saja tetap enak untuk ditonton. Uma Thurman sendiri? Wuih, membuatku berpikiran inilah istri yang tepat untuk diajak mengarungi hidup disaat senang dan susah.
(more…)

Detective Conan The Movie 13: The Raven Chaser

Judul asli: 名探偵コナン漆黒の追跡者 (Meitantei Konan Shikkoku no Tsuisekisha)
Produksi: Toho (2009)
Sutradara: Yasuichiro Yamamoto

Akhirnya sempat juga menulis resensi film layar lebar Conan keluaran tahun 2009 ini dan aku merasa lumayan puas dengan the movie ke 13 jika melirik 2 film layar lebar Conan sebelumnya secara berturut-turut. Harap maklum, karena baik the movie 11 maupun 12 mengalami penurunan kualitas baik secara cerita misteri, suspense maupun petualangan jika dibandingkan dengan the movie sebelumnya. Kali ini Conan kembali berhadapan dengan musuh bebuyutannya Kuro Sosiki (Organisasi Hitam) beserta para gembong utamanya Gin, Vodka dan tentu saja Vermouth. Sekedar info, The Raven Chaser ini juga merupakan penampilan terakhir Kamiya Akira yang mengisi suara Meitantei Mouri Kogoro untuk Detective Conan The Movie, karena kontrak Kamiya berakhir pada tahun ini. Pada Detective Conan The Movie 14 tahun depan, Koyama Rikiya akan mengisi suara Kogoro (dimulai sejak serial anime episode 553).
(more…)

Dragonball Evolution – Evolusi Manga yang Terlecehkan

Produksi: 21th Century Fox
Sutradara: James Wong
Genre: Fantasy Action
Pemain: Justin Chatwin, Jamie Chung, James Marsters, Chow Yuen-fat, Emma Rossum.

dragonballKebetulan sekali aku menonton 2 buah film adaptasi komik secara berurutan. Yang pertama aku nonton Watchmen yang diadaptasi dari komik Amerika berjudul sama karya duet Moore/Gibbons. Yang kedua adalah Dragonball Evolution yang merupakan adaptasi manga (komik Jepang) karya Akira Toriyama. Dalam tulisan ini aku cuma ingin membicarakan tentang bagaimana hasil karya kerja sama Hollywood dan perfilman Hongkong dalam rangka melecehkan sebuah karya manga fenomenal seperti Dragonball.

Sebelum menontonnya aku memang tidak berharap terlalu banyak pada adaptasi Dragonball kali ini. Paling tidak yang kucari adalah hiburan semata. Mengingat salah seorang produsernya adalah Stephen Chow, yang kunantikan dalam film ini adalah kelucuan tingkah Son Goku dan kawan-kawan. Apa lacur, jangankan adegan komedi khas Akira Toriyama muncul dalam film, hiburan yang kuharapkan juga sama sekali tak muncul seperti yang kubayangkan. Justru kebosanan melandaku ketika menonton film yang cuma berdurasi sekitar satu setengah jam ini. Bahkan hanya untuk sekedar film hiburan saja, Dragonball Evolution ini sudah mengecewakan.

Bagi para penggemar manga Dragonball tentunya tak perlu lagi kutulis isi ceritanya dan bagi yang belum pernah baca, agaknya cerita petualangannya tidak terlalu berat dan cukup menghibur. Masalah utama film ini adalah semangat petualangan yang begitu kental digambarkan dalam manga justru cuma jadi tempelan belaka. Yang ditonjolkan dalam film hanya Amerikanisasi kehidupan Son Goku, termasuk gaya setting sekolah Amerika yang “bullying the nerd guys” oleh para “cool guys” dalam film remaja Amerika turut meramaikan film ini. Apa tidak bosan mengulang adegan beginian? Tema hubungan romantis Goku dan Chichi yang unik dalam manganya diganti dengan gaya pacaran anak Amerika. Masih ingatkah anda adegan Chichi yang mengejar-ngejar Goku untuk minta kawin, sedangkan Goku yang polos menganggap kawin itu sejenis permen. Maaf, tidak bakalan ada adegan lucu seperti itu dalam film ini.

Bicara mengenai akting, lebih baik pasrah saja deh. Aktor senior seperti Chow Yuen-fat saja tak bisa berbuat banyak dengan kenyataan parahnya skenario film yang ditulis. Chow Yuen-fat disini cuma mirip pemain lenong yang mau melucu tapi nggak bisa bikin ketawa penonton. Hilang sudah sosok si tua bangka hentai Kame Sennin Muten Roshi yang genit dan lucu. Justin Chatwin yang dipuji sewaktu berperan sebagai anak sulung Tom Cruise dalam film War of the Worlds, dalam film ini seperti lupa cara berakting baik. Hal ini ditambah lebih parah dengan karakterisasi seluruh tokoh yang lemah.

Dan kalau anda berharap adegan tarung yang dahsyat, siap-siap saja kecewa. Mendingan nonton The Forbidden Kingdom-nya Jacky Chan yang paling tidak memperlihatkan adegan kelahi keren dengan jurus-jurus indah atau jurus-jurus lucu animasi Kung Fu Panda. Disini anda akan disungguhkan pertarungan antara penari yang sibuk berdansa saling menyerang tanpa ada semangat memukul lawan tarungnya. Spesial efeknya sendiri walaupun lumayan bagus, tapi sudah biasa dilihat difilm-film lain sehingga terlihat seperti tidak ada keistimewaannya. Bahkan tongkat dan awan kintoun yang identik dengan sosok Son Goku hilang dari layar lebar. Apakah karena produsernya yang orang China tidak mau sosok Son Goku disamakan dengan tokoh Sun Gokong yang memang diambil Toriyama sebagai dasar penciptakaan tokoh Son Goku?

Jadi sebenarnya apa yang ingin dijual oleh film ini? Hanya franchise sajakah? Entahlah, tapi paling tidak menurutku ini hanya sekedar film dengan niat nyari untung gede dengan cara melecehkan manga aslinya dengan membuat film yang asal jadi. Judul filmnya sangat tepat, Dragonball manga telah berevolusi menjadi Dragonball Amerika yang norak dan komersil. Mungkin kelebihan film ini ada dipemeran tokoh ceweknya yang menyegarkan mata seperti Jamie Chung (Chichi) dan Emmy Rossum (Bulma). Persetan dengan akting kaku mereka, tapi kok Muten Roshi tidak sampai tergoda ber-hentai ria dengan dua cewek mulus ini yah??

Rating: 1.5/5

Detective Conan The Movie 12: Full Score of Fear

Judul asli: 名探偵コナン戦慄の楽譜 (Meitantei Konan Senritsu no Gakufu)
Produksi: Toho ( 2008 )
Sutradara: Taiichiro Yamamoto

Terus terang saja aku kecewa dengan film layar lebar Detective Conan kedua belas kali ini. Selain misteri yang dibahas tidak terlalu bikin penasaran, thriller yang dikemas kurang seru, tokoh yang diajukan oleh penulis cerita juga kurang mantap. Jadinya film ini jatuhnya biasa saja, tidak ada hal yang istimewa untuk Detective Conan The Movie kali ini. O iya, aku sebenarnya sudah nonton tahun kemarin sekitar bulan Juni (tanpa teks), karena takut terjadinya salah pengertian bahasa terpaksa nonton ulang film yang sama dengan teks terjemahan.

Film dibuka dengan adegan pengeboman akademi musik Doumoto yang banyak melahirkan pemusik-pemusik klasik Jepang kelas dunia, mulai dari penyanyi soprano, violist, hingga pianis. Korban yang tewas tidak berhenti begitu saja melainkan dilanjutkan dengan pembunuhan musisi yang berhubungan dengan akademi musik Doumoto lainnya hingga total pengeboman berjumlah tiga. Disetiap tempat kejadian ditemukan flute (sejenis suling) masing-masing bagian kepala (head joint), tubuh (body) dan bagian kaki (foot joint) dari satu flute utuh.

Kejadian ini dilanjutkan dengan serangan terhadap penyanyi soprano terkenal yang juga penyanyi utama akademi musik Doumoto menjelang Doumoto Concert. Conan yang bersama teman-temannya yang menghadiri acara tentu tak mau tinggal diam. Mulailah Conan menyelidiki seluruh kejadian dibalik keterlibatan akademi musik Doumoto untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar didepan matanya.

Film kali ini sama membosankannya dengan the movie sebelumnya Jolly Roger in the Deep Azure. Jangankan untuk menyaingi keistimewaan Detective Conan The Movie terbaik yang pernah saya tonton The Panthom of Baker Street, untuk sekedar sama bagusnya dengan Countdown to Heaven saja masih kalah kelas. Satu-satunya adegan menarik yang saya lihat adalah latihan paduan suara anak-anak SD Teitan tempat Conan dan teman-temannya sekolah. Lucu juga melihat betapa anak SD nyanyi di kritik oleh penyanyi soprano professional. Conan sendiri di”bantai” karena dirinya “onchi” (tone-deaf alias pekak nada) hehehe…… 😀

Menurut kabar terbaru, bulan april 2009 bakalan keluar Detective Conan The Movie: The Raven Chaser yang akan menampilkan kembali musuh berat Conan yakni Kuro Sosiki (Organisasi Hitam) yang sudah lama hilang dari peredaran cerita. Semoga the movie yang akan datang tidak mengecewakan.

[Edit] The Raven Chaser sudah ditulis resensinya di link ini

Rating: 2.5/5

Detective Conan: The Phantom of Baker Street – Kritik regenerasi dan sistem pendidikan Jepang lewat anime

Judul asli: Meitantei Konan, Beika Sutorito no Borei
Produksi: 2002
Genre: Anime misteri

“Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga”
Begitulah peribahasa melayu menggambarkan hubungan anak dengan orangtua-nya. Baik orangtua-nya, baik pula anaknya, buruk orangtua-nya demikian pula buruk anaknya. Tentunya baik buruk yang dimaksud disini adalah sifat dan perilaku yang tak lepas dari didikan orang tua dan kondisi lingkungan yang disediakan orang tua bagi anaknya. Tema inilah yang coba diangkat oleh film Detective Conan 6: The Phantom of Baker Street (DC6), yaitu peran anak-anak dimasa depan tak lepas dari sikap orang tuanya dalam membesarkan mereka. Selain itu juga film ini mengkritik sistem pendidikan Jepang yang terlalu menitik beratkan kebersamaan.

Memang film layar lebar DC yang satu ini jauh lebih serius dan dibuat lebih gelap dibandingkan film layar lebar DC yang lain. Terlebih lagi cerita DC6 ini merupakan film DC satu-satunya yang ditulis oleh Hisashi Nozawa, seorang penulis novel misteri terkenal yang telah banyak mendapat berbagai macam penghargaan.

Sinopsis
Lima puluh anak terpilih untuk memainkan sebuah “virtual reality game” generasi mutakhir bernama “Cocoon” yang dapat membawa para pemainnya berinteraksi secara langsung dengan dunia game bagaikan di alam nyata. Ke-lima puluh anak yang terpilih adalah anak-anak dari orang-orang yang paling berpengaruh seantero negeri (dalam hal ini Jepang).

Sebelum permainan dimulai, seorang petinggi perusahaan pembuat game Cocoon bernama Kashimura ditemukan tewas terbunuh. Conan menemukan sebuah petunjuk mengenai sang pembunuh yang berhubungan dengan game Cocoon sehingga memutuskan untuk mengikuti permainan.

Ketika permainan baru saja berlangsung, sebuah program AI (artificial intelligent) yang bernama Noah Ark menyatakan kalau dia telah menguasai dan telah menutup segala akses keluar masuk game. Noah Ark mengungkapkan tujuan utamanya mengambil alih kendali permainan ini adalah untuk me-reset generasi muda yang telah tercemar.

Permainan anak-anak tiba-tiba berubah menjadi permainan maut karena Noah Ark mengubah peraturan pertandingan dimana jika permainan gagal (game over) maka ke-50 pemain juga akan ikut tewas. Dapatkah Conan dan teman-temannya menyelesaikan permainan hidup-mati ini?

Isu pendidikan di Jepang
Pernahkah anda mencermati manga dan anime produksi Jepang yang mewabah keseluruh dunia. Lihatlah bagaimana Voltus V, Saint Seiya, hingga Naruto bertarung melawan musuh-musuhnya bersama teman-teman mereka. Belum lagi pengaruh Super Sentai (Power Ranger dalam adaptasi Amerika) yang mem-plot lima orang jagoan dengan seragam warna-warni. Memang sebagian besar tokoh-tokoh manga dan anime seakan-akan mewakili semangat gotong royong anak muda Jepang untuk mencapai satu tujuan (kalau Bung Karno masih hidup, tentu akan senang sekali mengambil contoh anime seperti ini).

Mengenai sistem pendidikan Jepang yang disinggung didalam film ini sebenarnya bukanlah sistem yang buruk, jika kita bandingan dengan sistem pendidikan di Indonesia sendiri. Sekolah-sekolah tingkat dasar (SD sampai SMU) di Jepang mengutamakan kebersamaan dan penyama rataan pendidikan, dalam artian tidak ada kelas khusus bagi anak jenius dan berbakat dibidang tertentu. Mungkin karena sebab itu tim olimpiade fisika dan matematika Jepang akan sulit menandingi tim wakil dari Indonesia yang disiapkan dengan kelas khusus.

Mengenai isu tekanan pendidikan yang berlebihan bagi para siswa yang menyebabkan naiknya angka bunuh diri pelajar, pemerintah Jepang telah berusaha mengatasi hal ini dengan sistem pendidikan baru. Pendidikan anak-anak SD lebih ditekankan pada sosialisasi masyarakat, tidak ada PR (pekerjaaan rumah) yang berlebihan dan lebih banyak unsur bermain sambil belajar. Barulah tekanan semakin berat setelah masa SMP hingga SMU. Baik buruknya sistem pendidikan seperti ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, dan anda sendiri tentu memiliki pendapat tersendiri.

Isu Re-set satu generasi
Anak presiden bertindak seperti presiden, anak jenderal bergaya layaknya jenderal, anak menteri petantang petenteng bagaikan menteri. Pada jaman ORBA hal ini banyak ditemukan. Misalnya dahulu pernah seorang anak pemimpin negara ini mengatakan, “….dia kan pembantu bapak!” yang ditujukan pada seorang menteri. Apakah hal ini menunjukkan seorang anak pemimpin memang mempunyai posisi dan pola pikir eksklusif sesuai dengan posisi orang tuanya? Bagaimana pada jaman sekarang? Masihkah sama?

Apakah peribahasa melayu diatas itu sudah pasti benar? Kalau melihat bagaimana anak Bung Karno jadi presiden, anak Bung Hatta jadi menteri, anak SBY (jenderal) masuk militer dan merintis karir untuk menjadi jenderal, anak kiyai jadi pemimpin pesantren, mungkin saja peribahasa tersebut benar. Lalu bagaimana dengan anak Soeharto yang notabene seorang mantan presiden dan jenderal. Anak-anaknya sekarang malah lebih sering masuk tabloid hiburan daripada berita politik. Apakah ini hasil didikan orangtua, bakat turunan, pengaruh lingkungan ataukah hal yang lain.

Didalam film DC6, anak-anak yang diundang untuk mengikuti permainan adalah anak-anak dari orang-orang yang memiliki pengaruh politik, ekonomi dan sosial Jepang seperti para petinggi pemerintah, politisi dan birokrat, dokter ternama, militer berpangkat serta pengusaha besar. Mereka digambarkan sebagai bentuk generasi kedua atau ketiga pemimpin Jepang dimasa depan, representasi pemimpin negara dimasa yang akan datang. Bagaimana jika orangtuanya seorang pemimpin berwatak rendah? Akankah anak seorang politisi korup akan menjadi politisi korup dimasa depan? Dokter yang hanya bertujuan mengeruk uang sebanyak mungkin, anaknya akan menjadi dokter yang sama seperti orangtuanya? Demi masa depan Jepang yang lebih baik, rantai generasi busuk seperti ini ingin diputuskan oleh Noah Ark.

Re-set satu generasi atau dengan kata lain menghabisi satu generasi yang diyakini telah terpolusi oleh tindakan-tindakan kotor seperti suap menyuap, korupsi, manipulasi, dsb ini mungkinkah diterapkan di Indonesia? Maksud dari menghabisi satu rantai generasi ini bukan dibunuh, melainkan mematikan aktifitas yang berhubungan dengan kepemimpinan. Isu ini pernah terlontar tak lama setelah era reformasi di Indonesia berlangsung, hanya saja lama kelamaan isu ini menguap dengan sendirinya.

Memang isu “potong satu generasi” dalam film dan topik yang saya kemukan ini berbeda, tapi saya yakin memiliki inti tujuan yang sama yaitu mencegah generasi busuk untuk memimpin negara yang sudah morat marit seperti sekarang ini dimasa depan. Mungkin yang patut dicari adalah para pemimpin turunan dari pemimpin masa lampau yang belum terkena polusi atau cari alternatif lain tanpa melihat siapa orangtua-nya (yang penting memiliki kemampuan dan kepribadian baik)

Bagaimana dengan anda sendiri? Apakah anda percaya dengan sistem pemimpin turun temurun yang masih banyak dipegang oleh masyarakat di Indonesia hingga sekarang? Banyak pertanyaan yang saya sendiri sulit untuk menjawab dan saya persilahkan anda sendiri untuk menjawabnya.

Komentar penulis
Film adalah film (virtual maksudnya), dunia nyata adalah dunia nyata. Mungkin komentar ini akan tercetus dengan sendirinya. Tapi bagi saya sendiri, sebuah film kadang merupakan ekspresi pemikiran, tak ubahnya seorang penulis yang menulis pendapatnya di media cetak atau lainnya. Bagi anak-anak yang menonton, DC6 adalah film hiburan yang menarik untuk ditonton karena petualangan seru dan aksinya. Bagi orang dewasa yang ingin sedikit menggunakan otaknya untuk berpikir, DC6 bukanlah film yang setelah nonton langsung dilupakan begitu saja. Sungguh sayang melewatkan film dengan tema yang jarang seperti ini. Hanya saja film ini lebih dark dibandingkan film-film Conan sebelumnya yang cenderung ringan dan lebih fokus ke masalah romantisme Ran-Shinichi, repotnya Conan menyimpan sosok aslinya, serta penyelesaian kasus. Sehingga penonton dewasa yang mau menggunakan benak dewasanya akan merasa sedikit annoying dengan tema seperti ini.

Menurut saya, inilah film Detective Conan The Movie yang terbaik hingga saat ini karena membahas dengan sindiran pas hal yang sangat sensitif bagi masa depan suatu negara yaitu regenerasi dan pendidikan.

Rating: 4/5